Belajar dari Seni Begalan
A. Sejarah Begalan
Kata "Begalan" berasal
dari bahasa Jawa, artinya pencegatan dalam perjalanan untuk meramp. Menurut
para pakar budaya di Banyumas, tradisi begalan muncul sejak Pemerintah Bupati
Banyumas ke XIV, saat itu Raden Adipati Tjokronegoro (tahun 1850). Pada jaman
itu Adipati Wirasaba berhajat mengawinkan putri bungsunya Dewi Sukesi dengan
Pangeran Tirtokencono, putra sulung Adipati Banyumas. Satu minggu setelah
pernikahannya Sang Adipati Banyumas berkenan memboyong kedua mempelai dari
Wirasaba ke Kadipaten Banyumas (ngunduh temanten), berjarak kurang
lebih 20 km.
Rombongan yang dikawal sesepuh dan
pengawal Kadipaten Wirasaba dan Banyumas, di tengah perjalanan di hutan yang
angker, rombongan dihadang oleh seorang begal (perampok) berbadan tinggi
besar, hendak merampas semua barang bawaan rombongan pengantin. Terjadilah
peperangan antara para pengawal melawan Begal raksasa yang mengaku sebagai
penunggu daerah tersebut.
Pada pertempuran
itu begal dapat dikalahkan. Kemudian lari menghilang masuk ke dalam Hutan yang
angker dan wingit. Perjalanan dilanjutkan kembali, melewati desa
Sokaweradan Kedunguter. Sejak itu para leluhur daerah Banyumas berpesan
terhadap anak cucu agar mentaati tata cara persyaratan perkawinan, dikandung
maksud kedua mempelai terhindar dari marabahaya.
B. Proses Begalan
Prosesi
begalan ini diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung. Seni begalan berupa kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan
iringan gending sederhana. Seperti layaknya tari klasik, gerak tarinya tak terikat
pada aturan tertentu yang penting gerak selaras dengan irama gending.
Jumlah penari terdiri dari dua orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang
(peralatan dapur) yang bernama Gunareka,
dan satu orang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok yang bernama Rekaguna . Uba rampe/barang-barang
yang dibawa antara lain Uba rampe begalan adalah: padi dan palawija, kipas, kukusan, irus, cething, siwur, enthong, layah dan ulegan, talenan, dan dingklik. Barang bawaan ini biasa
disebut brenong kepang. Pembegal biasanya membawa pedang kayu yang bernama
wlira. Kostum pemain cukup sederhana, umumnya mereka mengenakan busana Jawa.
C. Pesan
yang terkandung pada uba rampe
Uba rampe begalan adalah: padi dan palawija, kipas, kukusan, irus,
cething, siwur, enthong, layah dan ulegan, talenan, dan dingklik.
Seluruh uba rampe digantungkan pada angkring atau pikulan dari
bambu yang berkaki rangkap. Wangkring adalah symbol kemandirian
keluarga yang mampu berdiri sendiri atau mandiri. Kedua pasang kaki angkring
merupakan symbol suami instri yang mampu menopang segala kebutuhan dan beban,
yang dijalaninya dengan tulus ikhlas. Meski demikian, perlu disadari bahwa
kekuatan manusia itu ada batasnya, sehingga mereka harus menjalani kehidupan
sesuai ukuran dan kekuatan sendiri; bukan menggunakan standar hidup orang lain.
Padi dan palawija melambangkan Dewi Sri, dewi kesuburan dan
kemakmuran. Diharapkan kedua mempelai diberi Tuhan benih-benih kesuburan dan
akan segera dianugerahi keturunan berupa anak yang saleh dan salehah, berbakti
kepada kedua orang tua, bangsa, dan agamanya. Padi juga menggambarkan
kemakmuran, sehingga diharapkan kedua mempelai dalam menjalani bahtera
kehidupan akan dilimpahkan rejekinya, cukup pangan, sandang, dan papan.
Kipas atau ilir memiliki makna ganda, dapat digunakan pada saat
kegerahan, bisa pula dimanfaatkan untuk membesarkan atau mengobarkan api tungku
di dapur. Namun janganlah sekali-kali mengipas-ipasi tetangga atau orang lain,
karena akan berdampak buruk bagi semua pihak, termasuk bagi diri sendiri.
Irus berfungsi membolak-balik atau mengaduk sayur yang sedang
dimasak agar bumbu merata. Hal ini mengandung pesan agar sesuatu perkara
hendaknya diolah dan dipikir berdua sebaik-baiknya. Mempelai berdua hendaknya
mengedepankan mufakat, jangan sampai melakukan aksi sepihak yang berakhir pada
penyesalan. “Setelah menjadi orang tua, kedua mempelai juga diharapkan tidak
mban cindhe mban ciladan, yaitu pilih kasih atau memperlakukan secara
diskriminatif terhadap anak-anak mereka. Orang tua harus mampu berbuat adil dan
merata bagi anak-anaknya.
Cowek/Layah dan ulegan melambangkan lingga dan yoni. Keduanya
tak dapat dipisahkan dan harus menyatu bila hendak mendapatkan bumbu dan
citarasa yang nikmat. Layah tidak mungkin dapat digunakan tanpa ulegan, begitu
pun sebaliknya. Suami dan istri harus dapat menyontoh kedua alat dapur
tersebut, yaitu selalu setia menjaga bahtera kehidupan rumah tangga. Jangan
sampai keduanya berjalan sendiri-sendiri bila ingin keutuhan rumah tangga tetap
bertahan.
Cething atau bakul nasi merupakan simbol wadah rejeki. Ia perlu
diisi ketika sudah kosong. Itulah rejeki yang mesti dicari dan diperjuangkan
lewat kerja oleh kedua mempelai. Jika tidak diisi tentu cething itu akan
kosong, karena tuntutan kehidupan yang beraneka macam. Rejeki yang perlu
dituangkan dalam cething tentunya harus dicari lewat cara-cara yang halal agar
mendapatkan berkah dari Tuhan.
Kukusan merupakan tempat beras dimasak menjadi nasi. Meskipun
kukusan dan beras tidak terendam air saat dimasak, beras menjadi matang oleh
uap air di bawahnya. Itulah gambaran dari panasnya gejolak kehidupan ini.
Jangan sampai diterjuni secara langsung apa adanya, namun ambillah uapnya;
makna yang tersirat dalam gejolak itu. Untuk memahaminya butuh waktu sepenanak
nasi atau beberapa waktu yang tidak terlalu lama. Kenikmatan dan kebahagiaan
itu butuh waktu dan tenaga untuk mendapatkannya.
Siwur atau gayung berfungsi untuk menyiram atau mengguyur.
Maknanya, kedua mempelai harus mampu menciptakan suasana sejuk dalam membina
rumah tangganya. Masing-masing harus mampu menyejukkan pasangannya bila sedang
terjadi situasi konflik yang memanas. Siraman rohani juga diperlukan untuk
membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah.
Semoga bermanfaat
Sumber :
Chusmeru ; Begalan sebagai Komunikasi Tradisional Banyumas http://komunikasi.unsoed.ac.id
Liberty Ika ; Tradisi Begalan Banyumasan http://libertyika.blogspot.co.id
Dan sumber lain